Pemuda dan mahasiswa selalu identik dengan perubahan sosial di
Indonesia sejak jaman penjajahan Kolonial Belanda hingga sekarang. Peran
kesejarahan dan keterlibatan yang sangat panjang telah menempatkan sebagai
kelompok strategis yang memiliki daya dorong transformasi sosial yang
signifikan. Hingga tepatlah kiranya bila mahasiswa dianggap sebagai salah satu
ikon penting dalam perubahan sosial di Indonesia.
Membaca Gerakan Mahasiswa (GM)
kontemporer karenanya butuh pembacaan historisnya. Yakni pembacaan atas
berbagai konteks dan problematika GM Indonesia sedari kelahirannya. Mulai dari
perlawanan atas imperialisme sampai pergulingan rezim dispotis, upaya
pendekonstruksian formasi sosial masyarakat, keberadaannya sebagai motor
penggerak, pengorganisasian, hingga visi strategis GM.
Singkatnya, riset ini difokuskan
pada dialektika pergerakam pemuda dan mahasiswa sepanjang sejarah
keIndonesiaan, yakni rentang waktu 1900-an hingga 2003 (kekinian). Vareabel
penjelasnya ditekankan pada dua wilayah, yakni konteks yang mengerangkai
(Global-Nasional-Lokal) dan aktor pergerakan.
Kebangkitan Nasional 1908 menjadi
penanda salah satu tonggak sejarah kebangsaan. Namun dia tentunya dilatari
setting sosial tertentu. Pelacakannya bisa diruntut pasca pemberlakuan politik
etis, walaupun ada beberapa peristiwa penting yang mengintrodusir terjadinya
"Ledakan" pergerakan di masa ini. Sebagaimana diketahui, sejak
revolusi pengatahuan-teknologi era Renaissance di Barat, memacu
perubahan besar pada tatanan Dunia. Persaingan antara Negara bangsa di Eropa
melalui pencarian Dunia baru yang di iringi praktek imperialisme. Indonesia
tidak luput dari proses ini ketia masuknya bangsa Portugis, Belanda,hingga
Jepang.
Belanda masuk sejak Tahun
1596-Cornelis De Houtman di Banten – dan puncaknya pada masa kekuasaan
VOC-kongsi dagang pemerintah Belanda-VOC melalui eksploitasinya Tahun 1602 di
bawah komando Gubernur Jendral Hindia Belanda, J.P Coen (meminpin 1619-1623 dan
1627-1629). Dari yang tadinya praktek monopoli "alamiah" dalam
perdagangan rempah-rempah, hingga penggunaan kekuatan politik, yakni masa culture
stelsel (culture sistem,culture sistem, cultivation sistem, tanam paksa)
dan seterusnya.
Culture stelsel dilakukan karena pailitnya
VOC (31-12-1799). Sebelumnya Hindia Belanda sempat dibawah jajahan Inggris
selama lima Tahun (1811-1816) di bawah Sir Thomas Stanford Raffles. Tanam paksa
kurang lebih selama 40 Tahun (1830-1870) di bawah gubernur jendral Van Den
Bosch.
Cara eksploitasi model Culture
Stelsel ini sendri dapat diturunkan dari kebutuhan pemerintah Belanda untuk
menutup kas Negara untuk membiayai peperangan yang terjadi di Eropa.
Keterlibatan negera secara aktif dalam memobilisasi kekuatan ekonomi di daerah
koloni karenanya di butuhkan.
Berikutnya, revolusi Februari 1848
di Perancis mengintrodusir pergeseran gagasan ekonomi-politk di Belanda
termasuk Hindia Belanda di dalamnya. Liberalisme ekonomi adalah anak kandeng
revolusi ini. Yang melalui desakan dari golongan Liberal (F. Van De Putte, De
Waal, Thorbecke, dll) serta golongan humanis melalui E. Douwess Dekker
(1812-1979) di Belanda.
Politik Etis
Kemenagan kaum Liberal di Belanda
berakibat pada di gantikannya era tanam paksa oleh program politik etis.
Pemiskinan di tanah Hindia Belanda dijadikan sebagai basis argumen kaum Liberal
untuk menyerang kebijakan ekonomi politik pemerintah Belanda. Van De Venter
melaui “Een Eerreschuld” (Debt of Honourl) utang Budi, dalam majalah De
Gids 1899, mengkritik kebijakan Kolonial yang tidak memperhatikan
kesejahteraan masysarakat pribumi, terutama di akhir abad ke-19 (G. Moedjanto,
1996:21). Kemakmuran Belanda, menurutnya, didapat dari jasa dan kerja orang
Hindia Belanda. Ini adalah hutang yang harus di bayar. Pokok pikirannya di tuangkan
dalam Trias Politica (Trias Van Devebter) yakni Irigasi, Emigrasi, dan
Edukasi oleh pemerintah Belanda di tanah koloni. Inilah program politik dari
politik etis yang di canagkan Tahun 1901 oleh ratu Wilhelmina.
Bagi kaum Liberal Belanda, politik etis
secara ekonomi politik adalah kewajiban pemerintah Belanda untuk menyiapkan
infrastruktur bagi masuknya modal swasta ke negeri jajahan. Swasta menuntut
keterlibatan pada pengelolaan ekonomi Negara jajahan, yang pada saat yang
bersamaan menuntut minggirnya Negara sebagai aktor utama. Pemiskinan yang
melanggar kemanusiaan adalah propagandis bagi kebutuhan tenaga terdidik bagi
perkebunan di Jawa dan luar Jawa, termasuk di dalamnya program irigasi dan
emigrasi.
Dalam tafsir ini, politik etis
adalah kamuflase politik bagi kebutuhan cara baru pengelolaan Negara jajahan
dalam kerangka Kolonialistis dan imperialistis. Tesisini dapat di lihat dari
sekian reduksi di level praktek. Tiga program ini senyatanya lebih
menguntungkan Belanda, dan bukan untuk pribumi, seperti ekonomi (perlindungan
dan bantuan bagi masyarakat pribumi), politik (pembebasan mobilitas vertikal
pribumi untuk jabatan penting), dan pendidikan (keterbatasan akses, dan
mobilitas untuk pos kebutuhan cara politik etis). Kelak, dampak dari transformasi
eksploitasi itu melahirkan sekian perlawanan di Sumatra dan Lampung, yang
menjadi sasaran trans migrasi.
Namun demikian implementasinya
tidaklah tunggal. Di sisi lain, politik etis justru menjadi semacam nemesis
(paradoks pendidikan) yang out putnya justru di pakai untuk melawan Belanda.
Secara bertahap, kesadaraqn keterjajahan menimbulakan berbagai perlawanan, dari
yang tadinya lokal ke Nasional. Ini tidak lepas dari faktor internal dan
eksternalnya. Faktor internal tersebut adalah penderitaan penjajahan (rasa
senasib seperjuangan); Pax Neerlandica yang telah memberi jalan kesatuan
bangsa; komunikasi dan transportasi yang semakin maju; konsolidasi bahasa
melayu menjadi bahasa Indonesia sebagai bahas persatuhan; pergerakan Nasional
sebagai reaksi terhadap lahirnya semangat kedaerahan; inspirasi kejayaan
Majapahit dan Sriwijaya dan sebgainya. Sedangkan faktor eksternalnya: kemenagan
Jepang atas Rusia; perlawanan rakyat India; revolusi kaum muda Turki 1908
(Musthafa Kemal Fasha); revolusi Tionghoa 1911 (Dr,Sun Yat Sen) dan sebagainya
(G. Moedjanto: 26).
Begitu politik etis dilaksanakan,
sekolah untuk anak-anak Eropa mulai dibuka untuk anak-anak pribumi oleh
Abendanon. Tahun 1902, sekolah juru kesehatan Bumiputera atau Sekolah Dokter
Bumi Putera (School Voor Genees Kundigen) ditingkatkan menjadi Sekolah
Dokter Bumim Putera (School Tot Opleiding Van Inlandsche Arts - STOVIA)
(Parakitri, 1955:225). Pada Tahun ini pula di mulai program politik etis yang
lain, yakni transmigrasi dan irigasi.
Sekolah-sekolah inilah yang kemudian
melahirkan lapis-lapis sosial terpelajar dalam masyarakat pribumi. Gerakan di
masa awal, mulanya di pelopori oleh seorang ningrat-bukan mahasiswa-Dr. Wahidin
Sodirohusodo yang pada Tahun 1901 memimpin majalah “Retnodoemilah” yang di terbitkan
di Yogyakarta sejak Tahun 1895 (saat itu di pimpin oleh F.L Winter, seorang
ahli bahsa Jawa). Wahidin berasal dari melati, Sleman Yogyakarta (W. 26 mei
1916) di Yogyakarta.
Pada Tahun 1906 ia keliling Jawa
untuk merealisasikan keinginannya. Kemajuan menurtnya, akan tercapai dengan
ilmu pengatahuan Barat lewat pendidikan dengan tanpa meninggalkan warisan Jawa.
Safari ini juga dalam rangka mengumpulkan beasiwa (studiefonds), untuk
meningkatkan pendidikan rakyat pribumi. Mamun gagasan Wahidin tidak di sukai
oleh kalangan priyayi yang khawatir tersaingi. Tahun1907, di Jakarta dia
bertemu mahasiswa STOVIA dan mendirikan perkumpulam pemuda dan mahasiswa, yakni
Budi Utomo 20 Mei Tahun 1908. personelnya di ketuai oleh Dr. SUtomo (lahir di
desa Ngapeh, Nganjuk, Jatim, 30 Juli 1888), Gunawan Mangun Kusumo (wakil
ketua), dan dan Gondo Sowarno (sekretaris).
Pada Tahun 1924 ia juga mendirikan Sutdie
Club di Surabaya yang kemudian melebur dalam Persatuan Bangsa Indonesia
(PBI) pada 16 Oktober 1930, cara PBI dalam menghadapi penerintahahn Kolonial
Belanda memilih jalan Tengah antara jalur kooperatif atau Non Kooperataf. Atas
prakarsanya pada Tahun 1935 Budi Utomo dan PBI disatukan dalam wadah Partai
Indonesia Raya (PARINDRA). Sotomo juga pernah bekerja sama dengan Ir. Soekarno
membentuk badan pederasi bernama PPPKI (Permufakatan Perhimpunan Politik
Kebangsaan Indonesia) pada Tahun 1927. PPPKI juga memiliki kontri busi besar
bagi terlaksananya Kongres Indonesia Raya Tahun 1928 dan 1931 di Surabaya
dimanan SUtomo menjadi ketuanya.
Pada dasawarsa 1920-an perlawanan di
Jawa terbagi menjadi tiga Front, yaitu Front Jakarta yang dipimpin oleh Husni
Tamrin, Front Bandung yang dipimpin oleh Sukarno, dan Front Jawa Timur yang di
pimpin oleh SUtomo, yang meminpin dan banyak sekali menerbitkan surat kabar
sebagai corong pergerakan seperti “Suara Umum, Tempo, Majalah Bangun, dan
sebagainya”.
Masih di Tahun 1908, SUtomo di
gantikan Rd. Adiati Tirtokusumo melalui kongres Budi Utomo I (11 Oktober 1909)
bila masih terus di pimpin oleh para mahsiswa maka Budi Utomo akan kesulitan
dalam hal finansial. Oleh karena itu disepakati untuk di serahkan pada kalangan
para priyayi. Tirto Kusumo meminpin Budi Utomo mulai Tahun 1908-1914 (2
Priode), dilanjutkan Rd,Ng. Wediodipuro Tahun 1914-1915, R.M. Ario Suryosaputro
Tahun 1915-1916, R.M. Ario Wuryonigrat. Kepemimpinan golongan priyayi membawa
Budi Utomo pada karakter perlawanan yang cenderung kooperatif dengan pihak
Kolonial.
Sebagai varian gerakan, Budi Utomo
membuat “Organ Taktis” yakni Tri Koro Dharmo (berdiri 7 Maret 1915) yang
diketuai oleh Sutiman Wryosanjoyo dan beranggotakan Sunardi (Wongso Negoro),
SUtomo, Muslich, Musoda, dan Abdul Rahman. Walaupun asasnya bersifat Nasional
dalam arti organisasi ini menpunyai kesadaran “Hindia”, namun anggotanya adalah
murud-murid sekolah menengah yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur saja.
Trikoro Dharmo dengan demikian masih sangat Jawa sentries.
Namun demikian dari organisasi ini
dapat menjadi perkumnpulan pemuda-pemuda dan mahasiswa seluruh “Hindia”. Pada
kongresnya di Solo, 12 Juni 1918, Trikoro Dharmo berubah menjadi Jong Java yang
corak pergerakan an ruang lingkupnya lebih luas termasuk pemuda dan mahasiswa
sunda. Konteks situasi Nasional pada saat itu samangat pergerakan untuk merebut
kemerdekaan.
Selama eksis, Jong Java telah mampu
menjadi salah satu bagian penting dalam pergerakan Nasional. Trikoro Dharmo
secara konsep taktik-setrategik memang masih bersifat kedaerahan (Jawa
sentris), walaupun kemudian mengalami perluasan. Namun konteks perlawanan
tidaklah berbeda dengan yang terjadi di daerah lain pada saat itu (kurun waktu
1908-1917), yakni upaya keluar dan membeaskan diri dari jarring-jaring
Kolonialisme, Kapitalisme dan Feodalisme.
Sebagai elemen pelopor atau perintis
Trikoro Dharmo menjadi referensi gerakan di daerah lain. Pergantian nama
menjadi Jong Java mengakhiri stigma “Jawa sentris”. Inilah usaha memperluas
cakupan dan orientasi pergerakan. Di daerah lain organisasi-organisasi
serupa-pun dibentuk, yang juga masih bersifat kedaerahan seperti Jong
Sumatranen Bond/JBS (1917), Jong Celebes (1918), Jong Minahasa (1918-1928),
Jong Batak Bond (1925). Yang agak berbeda adalah Jong Islamieten Bond (JIB)
Tahun 1925 yang menunjukkan-walaupun masih Partikular- kecendrungan kebutuhan
menyatukan organisasi pemuda dan mahasiswa dalam skope yang lebih luas
(Nasional), namun juga menandai pengaruh keagamaan yang menjadi daya dorong
pergerakan secara formal dikalangan
pemuda.
Inilah kecenderungan yang mampu
melahirkan Jong Indonesia di Bandung pada Tanggal 27 Februari 1927 (hasi
keputusan kongres pemuda I, 30 April 1926), Sumpah Pemuda (SP) sring disebut
sebagai generasi penegas atau pendobrak-Tanggal 26-28 Oktober 1928. namun ini
tentunya lebih bersifat momentum, karena sebelumnya pun tidak bisa di nafikan
arti kegiatan serupa yang juga bersifat Nasional. “manifesto politik”
perhimpunan Indonesia sebelumnya (indische vereeniging 1906-1922) yang
dimuat Hindia poetra, edisi Maret 1923, telah mengintrodusir gagasan
kesatuan, demokrasi, penilakan penjajahan, dan hak menentukan nasib sendiri
dalam Indonesia yang merdeka. (1000 Tahun Nusantara, 2000:139-140).
Masa
1928-1939
SP 1928 menjadi referensi orientasi
persatuan Nasional bagi pergerakan mahasiswa dan pemuda waktu itu, seperti
munculnya Indonesia Muda (IM) Tahun 1930 sebagai hasil peleburan
organisasi-organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan (JSB, JC, JM, SR, dan yang
lainnya). IM dipelopori oleh perhimpunan pelajar-pelajar Indonesia (PPPI).
Dalam perjalannya, banyak organ ini
tidak terlepas dari intrik dan friksi internal serta intervensi Kolonial
melalui tindakannya yang represif. Pada kasus IM, persoalan eksternal dan
internal tersebut mampu mendomestifikasikannya hingga gagal memberikan
kontribusi signifikan. Realitas ini mendorongan banyaknya anggota IM keluar dan
membentuk organ lainnya seperti Soeleh Pemuda Indonesia (SPI) dan Pergerakan
Pemuda Revolusioner (PERPIRI), dan di kemudian waktu juga mengalami problem
sama. Kevakuman grakan pemuda di tingkat Nasional sudah mulai terlihat.
Vakumnya IM dan organ-organ lainnya
telah sedikit melumpuhkan semangat pergerakan Nasional. Kevakuman dan krisis
pergerakan yang seharusnya terkait dengan konteks eksternal, seperti malaise
ekonomi Dunia Tahun 1929/1930, pembatasan Hak berkumpul dan berserikat (pengawasan
Polisi) dalam rapat-rapat Partai, larangan pegawai dalam birokrasi untuk
menjadi anggota Partai politk, cap Ilegal bagi organ yang di angggap
bertentangan dengan Lae And Order
(Koninklijk Besluit, 1 September 1919). Situasi represif inipun banyaknya
pergerakan pemuda Nasional yang di asingkan (Sokarno,Hatta Dan Syahrir) setiap
organ dituntut memiliki daya tahan jaka ingin bertahan dan di paksa
menyesuaikan diri dengan kebijakan pemerintah (G. Moedjanto, 1992:57).
Banyak penyiasatan kemudian butuh di
lakukan untuk merespon refresif ini. Banyak dari mereka kemudian
bertransformasi menjadi Studie Club. Wilayah gerakan sangat Kultural,
yakni berupa aksi-aksi penyadaran masyarakat akan arti penting pergerakan,
persatuan, pendidikan dan lainnya yang secara Kultural bermanfaat bagi
perjuangan merebut kemerdekaan. Menyebarkan wacana melalui surat kabar, atau
majalah (seperti Soeleh Rakyat, Soeleh Indonesia) adalah tren baru pergerakan.
Di waktu kemudian Trend Study Club
ini menjadi usang dalam konteks sosial politik yang berubah. Embrio
revolusioner dalam pergerakan Kultural mulai membutuhkan ruang ruang sosial
untuk “uji materielnya.” Banyak kemudian dari mereka menjadi Partai politik
seperti Algemeene Studie Club-nya Sukarno berubah menjadi Partai Bangsa
Indonesia (PBI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada Tahun 1927. pergeseran
ini kemudian diikuti oleh Partai-Partai baru seperti Partai Indonesia Raya
(PARINDRA)-eks Budi Utomo, Gerakan Rakyat Indonesia (GARINDO), dan puncaknya
adalah terbentuknya Gabungan politik Indonesia (GAPI) pada Tahun 1939.
Masa
Pendudukan Jepang (1942-1945)
Pada masa Jepang hampir semua
gerakan pemuda dan mahasiswa di bubarkan. Mereka kemudian di mobilisasi dalam
mewujudkan Program Asia Timur Raya Jepang. Situasi ketidakamanan akan bahaya
perang, memaksa Jepang untuk tidak memberikan ruang politik yang luas, bagi
kebutuhan pengorganisasian dukungan.
Konsekwensinya, para pemuda di
masukkan kedalam barisan-barisan pelopor ketentaraan Jepang, seperti Seinendan,
Keibodan, Heiho, dan lainnya. Sebagian lainnya di beri lebel
“kebangsaan” seperti Pembela Tanah Air (PETA). Mereka ini, dalam propaganda
Jepang, nantinya akan menjadi tulang punggung kemerdekaan. Walaupun
sesungguhnya keberadaan mereka tidak lebih sebagai penyiapan bala bantuan
Jepang untuk menunjang Meliter Jepang pada perang Pasifik.
Dimulailah era baru pergerakan,
yakni era pergertakan bawah tanah. Era ini dikenal sebagai era kejayaan gerakan
illegal seperti selebaran, kurpol-kurpol, dan propaganda. Hanya saja seperti
nanti dicatat di bawah, gerakan bawah tanah ini di kombinasikan dengan cantik
dengan gerakan illegal yang dipimpin Sukarno. Salah satu hasil kalaborasi ini
adalah keberahasilan pengorganisasian massa pada demonstrai massa di lapangan
Ikada.
Seperti di sebutkan di atas tidak
semua gerakan kepemudaan dan mahasiswa tirap. Kekuatan politik yang di mainkan
masih di pertahankan, hanya sajaj dicitrakan agak jauh dari oposisi. Cara yang
kedua inilah yang di perankan antara lain oleh Sukarno, Hatta, dan lainya. Sementara
di kubu yang pertama, nama Tan Malak barangkali yang paling tersohor.
Pergeseran yang cukup berarti,
terlihat di masa-masa akhir pendudukan Jepang. Kekalahan tentara Jepang oleh
sekutu di beberapa tampat, yang didengar oleh aktivis pergerakan Nasional,
dapat menjadi bumeranga bagi cara politik refresif yan g digunakan. Putera yang
tadinya hendak digunakan sebagai organ korporatis Jepang, mulai mampu
menunjukkan karakter oposisinya. Ini memaksa Jepang untuk lebih akomodatif pada
kepentingan politik pergerakan kemerdekaan Nasional. Pembentukan BPUPKI yang
kemudian menjadi PPKI adalah contoh terbaik politik akomodatif Jepang di
saat-saat akhir pendudukan.
Pasca
Kemerdekaan
Tahun 1955 merupakan Tahun ke-5
Indonesia menganut sistem demokrasi Liberal (Demokrasi Parlementer).
Eksprimentasi yang kemudian di anggap gagal, karena tidak adanya pemerintah
(Partai/koalisi Partai untuk meraih mayoritas dalam parlemen) yang mampu
bertahan lama (rerata kurang dari 5 Tahun, terlamam tidak lebih dari 2 Tahun) .
Enpat parai besar pemenag pemilu 1950, yakni PNI, Masyumi, NU, dan PKI, tidak
ada yanga meraih mayoritas.
Instabilitas politik ini di perparah
oleh keterlibatan Meliter dalam panggung politik. Rasionalisasi di tubih
Meliter yang tadinya dimaksudkan untuk memprofesionalkan keberadaannya tidak
terkomonikasikan dengan baik.
Pasca agresi Meliter Belanda I dan
II, rencana “pecah belah” dalam model RIS, yang menandai keinginan Belanda (dan
sekutu) untuk berkuasa kembali di Indonesia, memunculakan persepsi di ubuh Meliter
akan kewajiban menjaga kesatuan Nasional. Carut-marut tersebut di perparah
keterlibatan elit sipil yan gmencampuri internal Meliter.
Singkatnya, dalam perspektif
Meliter, Pertama, menolak intervensi sipil dalam urusan internal Meliter
(seperti kasus pelantikan bambang otoyo sebagai KSAD), dan kedua,
melihat instabiitas politik adalah karakter dasar dari kepemimpinan politik
sipil. Walaupun, sesungguhnya yang lebih dominan adalah yang pertama, sedangkan
yang kedua akan menjadi bahan yang makin akumolatif di kemudian waktu.
“pembangkangan” awal Meliter teahdap
kepemimpinan sipil, didemonstrasikan dalam pagelaran pasukan di depan istana
Negara di bawah komando A.H. Nasutin, di Tengah pidato presiden Sukarno pada
Tanggal 17 Oktober 1952. inilah awal ketegangan yang akan terus berlanjut
hingga di kemudian hari. Kesemuanya berimplikasi pada instabilitas politik yang
dalam konteks Negara baru seringkali tidak menguntungkan.
Krisis politik ini di perparahatau
di matangkan oleh kerisis ekonomi yang diawali sekitar 1954-1959 (yang akan
semakin parah di Tahun-Tahun berikutnya). Tingkat insplasi tinggi-yang
merupakan indicator makro stabilitas ekonomi-menurunkan tingkat daya beli yang
menurunkan tingkat kesejahteraan. Namun tanpa harus memperdebatkan bagaimana tingkat
kesejahtraan di ukur, senyatanya persoalan kemiskinan belum tertanggulangi.
Dalam disertasinya, Hermawan
Sulistyo menunjukkan bahwa suplai uang, devisit anggaran, dan biaya hidup
meningkat sekitar tiga kali lipat. Uang kartal yang beredar menunjukkan angka
yang semakin meninggi (nilainya rendah). Pada saat yang sama lapisan elit tidak
menunjukkan sens af cresis yang kuat dengan mempertontonkan kemewahan
didepan rakyat melarat.
Ekonomi biaya tinggi (inefisiensi
dan korupsi) banyak berperan dalam mundurnya perekonomian. Belumlagi kebijakan
impor lebih banyak berorhentasi pada barang konsumsi (meningkat tajam dari $
499 juta pada tahun 1960). Kontradiksi social ini direspon melalui berbagai
perlawanan sepeti pemogokan yang dilakukan Serikat Buruh Partai Sosialis
Indonesia (PSI) sekitar Mei 1955.
Selain situasi nasional ini, ada
konteks global yang memberi corak pada GM Indonesia. Pasca keruntuhan Fasisme,
berujung pada pertentangan dua kutub idiologi yang tadinya melakukan “aliansi
taktis” melawan fasisme dan kapitalisme-liberalisme. Di tingkat gerakan,
masing-masing memiliki watak nasionalis. Pertemuan Internasional Union Student
(IUS) yang kongres pertamanya terlaksanan di Praha, Cekoslowakia, Agustus 1946
dipertandingkan dengan International Student Conference (ISC,1950) telah
mengakibatkan terpecahnya GM dalam dua kubu idiologi besar dunia. Politik di
Indonesia sendiri pada awalnya lebih memilih di tengah. Kesadaran
kolektivitasnya dibangun oleh semangat persaudaran atas segenap bentuk
penjajahan yang mengenai wilayah Asia dan Afriika. Ini di manifestasikan dalam
kongres asia afrika (KAA) di bandung pada April 1955.
Kesemua situasi diatas berpengaruh
dalam GM, terutama tarikan masuk dalam politik. Tipologi pelembagaan
partisipasi politik sat ini memang melalui saluran partai politik yang kental
corak idioiloginya. Hampir kesemua saluran partai politik tersedot di sini.
Masing-masing saluran partai politik kemudian hanya tampak sebagai instrumen
perpanjangan (Underbouw) partai politik, dari mulai organisasi
kemahasiswaan, organisasi petani, buruh, pers, dan sebagainya.
GM pun larut dalam tipologi ini.
Aktivits yang sempat melemah (kasuskeluarnya persatuan perhimpunan-perhimpunan
mahasiswa Indonesia/PPMI-dari Dri Front pemuda Indonesia/FPI-pada kongres pemuda
Indonesia, 8 Juni 1950), kini meningkat derastis dalam frem baru ini.
Pergeseran ini sering kali
menyulitkan kebersamaan. Afiliasi organ mahasiswa ke parpol berakibat pada
metuncingnya hubungan antar organ. Belum lagi jika ketegangan itu diturunkan
dari perbedaan idiologi. Front kiri dan kanan semakin jelas, yang
direpresentasikan lewat perpecahan antara CGMI, GMNI, dan GMKI dengan HMI,
PMKRI, dan Germasos, PMII sendiri di pimpin germasos.
Organ mahasiswa yang terlibat di
PPMI, dan merasa terjebak dengan keanggotaannya di IUS, mencoba keluar dari
dominasi ini. Pada tanggal 15 Mei 1956 konfrensi Mahasiswa Antara Indonesia
(KMAI) dilangsungkan untuk membahas masalah ini di asrama Daksinapati, UI.
Namun, yang terjadi justru forum menjadi arena persaingan memperebutkan
legitimasi kepeminpinan politik mahasiswa yang selama ini di pegang PPMI.
KMAI kemudian ikut terlibat dalam
gerakan mahasiswa internasional, termasuk mempersiaokan delegasi Indonesia
untuk mengikuti Konfrnsi Mahasiswa Asia-Afrika (KMAA). Namun pertentangan
idioloogis pulalah yang akhirnya menggagalkan bertemunya gerakan mahasiswa ini
karena mereka menganggap KMAA adalah perpanjangan tangan IUS. Negara-negara
yang menolak tersebut antara lain: Muangthai, India, dan Birma.
Sementara itu, di tahun 1957 kondisi
nasional semakin memberuk. Sejak akhir 1956 aksi protes diberbagai wilayah di
Indonesia mulai diwarnai kekerasan bersenjata. Keterlibatan meliter dalam
aksi-aksi ini sangat kental.ketegangan dalam internal tubuh meliter, perpecahan
karena gesekan idiologis, perlawanan terhadap dominasi pemerintah pusat, dan
lainya menjadi pemicu bagi lahirnya perlawanan-perlawanan di daerah. Dewan
banteng di Sumatra tengah, dewan gajah di Sumatra utara, dan permesta di
sulawsi selatan, adalah buktinya.kekacauan semakin besar, dan kabinet Ali II
pun jatuh pada Januari 1957.
Sukarno akhirnya mengambil langkah
di berlakukannya darurat perangartinya menarik meliter untuk lebih dalam masuk
politik.lebih lanjut sukarno melalui dekrit 5 Juli 1959 membubarkan dewan
konstituante dan membentuk Kabinet Gotong Royong dan Dewan Nasional.
Pilihan politik ini dalam banyak hal
malah menambah ketegangan. Inilah awal dimulainya era Demokrasi terpmpin dimana
kepentingan politik Sukarno tampil sentral dalam dalam pengelolaan konflik dalm
tiga kekuatan besar yang menjadi kawan koalisinya-yang masing-masing sebenarnya
saling berlawanan,-yakni PKI, NU, dan meliter.inilah formasi politik baru yang
menyingkirkan faksi-faksi idiologis dalam percaturan politik Indonesia, sepeti
kaum sosiali (PSI), Islam Modernis (masyumi), dan murbais (partai murba).
Demokrasi terpimpin sesungguhnya secara substansif lebih cenderung otoriter,
jika dibandingkan den gan otopiai demikrasi dsebagaiman diajarkan demokrasi
liberal. Perlawanan dibernagai daerah adalah implikasi dari situasi ini, yang
ditunjukkan oleh keterlibatan tokoh-tokoh di faksi tersingkir ini dalam gerakan
“pemberontakan”.
GM pun terseret dalam konflik elit
ini (walau juga ada nilai idiologinya). Aktivis mahasiswa yang berbadsis UI Jakarta
menggalang senat dari berbagai universitas dan membentuk federasi Majelis
Mahasiswa Indonesia (MMI). Inilah organ nasional yang sebanding dengan PPMI.
Namun karena lahir sebagai reaksi atas konflik elit, MMI gagal melibatkan
dirnya dalam perjuangan yang lebih luas, yakni perlawanan terhadap-dalam bahasa
demokrasi terpimpin-Neo kolonialisme-imperialisme (neokolim).
Ini dapat terlihat dari ketidak
terlibatan mereka dalam kasus pembenasan Irian Barat, sebagai mana yagn
dilakukan PPMI, FPI, dan perserikatan pemuda islam seluruh Indonesia (porpisi)
pada 24 april tepat pada deklarasi hari Solidaritas Internasional menetang
kolonialisme dan imperialisme (kasus irian barat menunjukkan pertarungan
Indonesia, belanda, dan amerika untuk memperebutkan minyak dan tambang lain,
dismpin kedaulatan politk bagi pemerintahan Indoneasia).
Tahun1957 dan seterusnya hingga masa
demokrasi terpimpin adalah tahun suram bagi organisasi mahasiswa maupun
masyarakat. Peran politik gagal menyentuh realitas ketidak adilan obyektif
dalam masyarakat, seperti persoalan kemiskinan maisalnya. Banyak diantara
mereka seperti di samping terjebak pada konflik elit. Juga tebelah dalam
fragmentasi idiologos yang berlart-larut tanpa pemenang. Belum lagi munculnya
politik baru yang di mainkan tentara (AD).
Keterlibatan tentera dalam
mempengaruhi pergerakan mahasiswa secara langsung di andai dengan pembentukan
BKS-PM (badan kerjasamam pemuda-meliter) tanggal 17tanggal 17 Jini 1957. Bagi
meliter, ini ditunjukkan untuk mengimbangi politik pengorganisasian masa oleh
PKI, sekaligus kontrol politik atas kekuatan mahasiswa. Mereka yang mengikuti
kesepakatan seperti Suktno (Pemuda Rakyat), S.M. Thaher (Pemuda Demokrat), A.
Bochori (GPII), Wajhib Wahab (ansor) dari pihak pemuda, dan letkol Pamuraharjo dari
pihak meliter. BKS-PM diresmikan 26 Jili 1957 terdiri dar 125 organisasi pemuda
dari 6 federasi yang memiliki perwakilan di dewan penasehat BKS-PM.
Upaya mengahiri kerisis politik
melalui demokrasi terpimpin ditenggarai “kerinduan” akan cita bersama yang
terkandung dalam UUD 1945. dekrit Sukarno 5 Juli 1959, di dukung juga oleh
banyak kalangan, dari mulai partai politik yang kemudian berkawan dwngannya,
Meliter dan juga GM (melalui PPMI, yang menekan sidang konstituamte pada
tanggal 11 Juli 1959 di Bandung). Jika persoalan di masa mendatang justru lahir
dari kegagalan UUD 1945 merespon perubahan situasi, maka kiranya lebih tepat
niatan kembali ini semata sebagagi semangat kembali pada cita persatuan.
Namun, dengan kembali pada UUD ’45,
masih memerlukan tafsir baru yang pas dengan kebutuhan situasi yang terpimpin.
Inilah yan gmelahirkan manifesto politik USDEK (UUD 1945, sosialisme Indonesia,
demokratis terpimpin, ekonomi terpimpin dan keoribadian Indonesia). Singkatnya,
persialan tafsir ini juga akan kembali mengemuka pada masa kedepan terutama
pada saat konsolidasi rezim Orba yang memonnnopoli penafsiran UUD 1945.
Parpol/Ormas
dipaksa ntuk menyesuaikan diri cengan situasi. Anggaran dasar setiap organisasi
harus mencantumkan Manipol USDEK, dan yang tidak dianggap kontra revolusioner
(kontrev) dan di bubarkan. Masyunmi, PSI, Murba, menjadi korban eksklusi
politik ini, anak kandung organisasinya Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII),
Gerakan Pemuda sosialis (GSP) dan GM sosialis di isolasikan.
Semrntara itu, perekonomian semakin memburuk. Sanering
terhadap rupiah, diumumkan oleh pemerintah pada tanggal 25 Agustus 1959,
menjadikan nilainya tinggi 10 % saja dari nilai nominal. Perkiraan bahwa nilai
uang akan kembali normal ternyata meleset. Jumlah uang yang beredar semakin
banyak sehingga harga barang makin membumbung.
Ada beberapa hal menurut Modjianto
yang menyebabkan terjadinya situasi ini, yakni Pertama, penghasilan
negara berkurang akibat turunnya ekspor karena pergolakan di berbagai daerah
tidak kunjung reda. Kedua, nasionalisasi perusahaan belanda tidak
membantu, karena tiadanya menejemen-menejemen yang cakap. PN, PDN, PPN yang
yang didirikan dengan maksud dijadikan salah satu jalan untuk mempercepat
tercapainya sosialisme di ndonesia, hanya menguntungkan segelintir elit. Keempat,
biaya persiapan asian gemes IV, Kelima, perjalanan dinas sukarno
keluarnegeri (dengan biaya negara), Keenam, tidak kundusifnya iklim
politik bagi investasi modal asing, dan Ketujuh, ndonesia tengah focus
terhadap kasus irian barat.
Kekacauan ini menempatkan tntara
(Nasution) dalam posisi signifikan-kadang malah menjadi penyebab
kekacauan-karena kebaranianya melakukan intervensi. Tentara denan jelas banyak
campurtangan dalam hal perekonomian. Perlakuan keras dan diskriminatifnya atas
pedagang Arab, India, dan terutama Cina menambah kekacauan situasi ekonomi dan
politik: merenggangnya hubungan diplomatic Jakarta-Peking dan instanilitas
ekonomi karena dislokasi, penimbunan barang dan implikasinya, tingkat inflasi
semakin serius.
Untuk bersaing dengan kekuasaan
Nasution Sukarno menempuh dua pokok: mendapatkan dukungan dari parpol yang
berpusat dijawa dan merangkul AU berhubung AD sudah oleh nasution (M.C.
Ricklefs, Sejarah Indonesia modernt,1991). PKI menapat ruang
setrategis nya di sini. Antara 17 %-25 % DPRGR di isi oleh PKI, termasuk ketika
sukarno membentuk MPRS. PKI hanya tidak terwakili dalam kabinet.
Komposisi ini berpengaruh terhadap
hubungan diplomatic Indonesia dengan dunia internasional. Kedekatan dengan
Soviet, Cina, adalah konsekwensi dari konfigurasi kekuatan politik internalnya,
lewat PKI maisaknya, namun semuanya di untungkan dari situasi ini. Kepentingan
merebut iran barat pun digunakan tentera untuk menambah kedekatan dengan Uni
Soviet. 1960 Camerad Khrushchev berkunjung keindonesia dan memberikan
kredit sebesar $ 250 juta, juga pinjaman $ 450 juta, dalam bentuk persenjataan
pada Januari 1961.
Angkatan bersenjata bertambah kuat. Personelnya mencapai sekitar 300.000
prajurut pada akhir 1962. bantuan persenjataan tersebut sering juga di bagi
berdasarkan preferensi politik Sukarno. AU dan AL banyak menerima bantuan
karena dipandang sukarno lebih kooperatif.
Di garis massa, PKI juga semakin
berkibar. Keanggotaan BTI mencapai 5,7 juta, konon ¼-nya adalah petani dewasa,
SOBSI hampir 3,3 juta. Awal 1963 anggota Pemuda rrakyat dan Gernawi mencapai
1,5 juta orang. Jumlah anggota PKI sendiri pada akhir 1962 lebih dari 20 juta
yang yang menempatkannya sebagai partai komonis terbesa di negara non komonis
mana pun (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia modernt,1991).
Pada kasus terselesainya sengketa
Irian Barat, dalam beberapa hal justru di anggap merugikan pada format politik
demokrasi terpimpin. Meliter ketakutan bila UU darurat perang akan di cabut dan
akibatnya belanja meliter di kurangi, PKI juga takut terhadap politik yang
kurang rasdikal akan menghalangi pertunbuhannya, begitu pula Sukarno merasa
takut jika semangat rakyat yang berkobar
pada masa rawan irian barat akan surut. Ketakutan yangsama juga dihadapi dalam
konteks kasus luar negeri, yakni rencana pembentukan negara Malaysia yang di
rencanakan sebagai persekutuan tanah melayu. Penolakan yang kemudian menjadi
komoditas politik luar, dalam kepemimpinan propagandis demokrasi terpimpin:
“Gayang Nekolim,” “Amerika kita seterika, Inggris kita linggis”.
Kedekatan mahasiswa dengan meliter
semakin jelas, yang ditunjukkannya dalam keikut sertaannya dalam pertahanan
sipil melalui pembentukan resimen mahasiswa (Menwa). Pertama kali ini di bentuk
pada tanggal 13 Juni 1956 di mana marwan bandung yang kemudian diikuti di
universitas-universitas lainnya.
Masa ini memang lebih banyak
menjelaskan bagaimanan kedekatan GM dengan elit lebih menjadi kunsi bagi
isu-isu pergerakan. Dalam situasi yang masih harmonis antara meliter dan PKI
(seperti kasus irian barat), banyak kelomppok GM yang bias bertemu, terkecuali
bagi mereka yang telah dieksklusi garis idiologinya dalam format politik
demokrasi terpimpin. Trikora pada tanggal 19 Desember 1961 mendapat dukungan
sepenuhnya dari mahasiswa. MMI dan PPMI membawa persoalan irian barat pada
level nasional dan internasional melaui (IUS & ISC).
Pada juli 1961 PPMI sempat
melaksanakan kongres ke IV yang memutuskan pembentukan presedium yang terdiri
dari GMNI, PMKRI, GMD, CGMI, PMB,-ekslutif yang dianggap berorientasi kiri.
Pada saat yang sama, Germasos dan HMI berhasil masuk keorgan-organ local di
Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya yang kemudian membentuk SOMAL.
Persaingan keduanya di tandai pada keterlibatannya pada isu-isu politik ataukah
tidak sebagai propaganda pergerakan. Bagi SOMAL, PPMI seringkali di anggap
terlalu terlibat dalam isu/ perisyiwa politis. Jika diruntut maka apa yang
disuarakan somal dapat dicari benag merahnya dengan aspirasi MMI. Dan ini bekan
yang aneh, jika dalam komposisi ekskutif MMI terdapat perwakilan dari akademi
hukum meliter, dan PTIK yang sangat dekat dengan kepentingan meliter.
Gerakan antar kedunya misalnya
terungkap dalam penyikapan insiden di bandung rasial di bandung, Mei 1963.
pernyataan konsulat PPMI di bandung menegaskan bahwa peristiwa ini tidak
bermotif rasial, namun isu social yang diakibatkan oleh gap antara sikaya dan
simiskin yang kian tajam.dalam kasus tersebut, konsulat PPMI di bandung pecah
yang di ikuti 4 anggota PPMI bandung membentuk organ serupa dengan nama biro
aksi mahasiswa. Keadaan ini di manfaatkan oleh MMI, yang mengiris organ pecahan
PPMI di bandung tersebut dan membentuk majlis permusyawarata Indonesia (MAPEMI)
agustus 1965.
Titik kulminasi dari kekacauan
semenjak 1963 menemukan klimaksnya pada tahun 1965. kenaikan harga jauh tidak
berimbang dengan penghasilan. Sejak 1963, tariff kereta api naik 500%. Tariff
jasa umum seperti listrik dan air minum naik 400%. Dampak terhadap kenaikan ini
terasa pada harga-harga di pasar. Dalam kuartal 1963 harga rata-rata kebutuhan
dasar di pasar di Jakarta naik dua kali lipat dari tahun 1962 (indeks 1953:
100, 1958:203, 1962:1006, dan kuartal ke dua 1963:2302).
Ankatan bersenjatapun tidak luput
dari problem finansial. Dalam catatan hermawan sulistyo, sejak 1963 angkatan
bersenjata tidak mampu kembali membayar hutangnya. Akibatnya, sulit memperoleh
dan merawat alat-alat perang. Suku cadang untuk pesawat tempur, radar, kapal
dan system persenjataan lain tidak tersedia, sehingga banyak persenjataan
moderent kalaitu tidak dapat di oprasikan.
Kondisi keuangan riil meliter lebih rinci yakni pada 1959, (anggaran meliter termasuk oprasi-oprasi meliter) di alokasikan 32, 26% dari anggaran pemerintah. Untuk tahun-tahun berikutnya sebesar 34,99% (1960), 29,28 (1961), 34, 72% (1962), 22, 10% (1963), 26,71% (1964), dan 41,54% (1965)
Kesukaran hidup rakyat ditepiskan
lewat semboyan “AMPERA, berdiri di atas kaki sendiri” . deklarasi ekonomi
(Dekon) 23 Maret 1963 justru memperioritaskan pembangunan ekonomi yang tidak produktif-populis
(sarinah Depertemen store, tugu monas, gedung DPR/MPR, penyelenggaraan ganifo,
dll). Hampir tiada pemikiran serius terhadap upaya recovery ekonomi.
Di mana ada ujung lebar
kesenjangan/kemiskinan, disanalah lading subur komonisme. Postulat ini agaknya
tepat untuk mengilustrsikan prilaku PKI di saat krisis. Di puncak kerisis, PKI
masih tetap bertahan dengan jargon-jargon anti klonialisme-imperialisme. Paling
menonjol adalah aksi-aksi yang dilancarkan untuk menggayang film-film AS dengan
tuduhan menjadi sarang CIA, yang mengenai kelompok-kelompok professional
fungsional (muncul sejak1953) seperti seniman, pengarang, wartawan, orang
perfilman, organisasi wartawan, organisasi mahasiswa (trend berdansa di
diskotik).
Pertentangan antara kelompok mahasiswa
akhirnya tidak bias di hindari, yang terbialah antara yang pro atau kontra
Manipol USDEK. Bahkan di ITB konflik ini meluas hingga isu rasial. PPMI bandung
di bubarkan. Sementara itu, kongres IV MMI pada awal april 1964 di malino tak
luput dari area perebutan pengaruh kekuatan politik di linkar utama
kekuasaan.