Rabu, 10 Oktober 2012

Menakar Ulang Gerakan Mahasiswa



               Dalam jajak pendapat sebuah media nasional, ada fakta yang tidak begitu menggembirakan. Diulas, gerakan mahasiswa cenderung melempem menanggapi berbagai permasalahan riil bangsa. Dalam salah satu pertanyaan yang diajukan, terungkap sekitar 50 persen responden menilai peranan mahasiswa dalam menyikapi problem kebangsaan semakin menurun.
               Berdasar fakta ini, ada tendensi gerakan intelektual kritis dewasa ini agaknya tidak lagi menempatkan sosok mahasiswa sebagai elemen penting suatu bangsa. Padahal, saya pribadi masih sepakat bila dikatakan mahasiswa adalah salah satu dari sekian komponen yang menjadi harapan masyarakat di setiap lini kehidupan. Karenanya, fakta di atas seyogianya membuat mahasiswa kembali merefleksikan diri atas apa yang telah, belum, dan masih harus diperjuangkan.
               Adakah kesadaran moral, pascakejatuhan rezim Soeharto mahasiswa cenderung lelap dalam eforia reformasi? Sudahkah perjuangan ‘kelas mahasiswa’ demi makna sebuah perubahan bergerak dalam koridor nilai idealitas dan humanisme masyarakat? Jujur dan tuluskah perjuangan mahasiswa? Kapan dan di mana seharusnya sosok mahasiswa itu bergerak dengan kekuatan moral dan intelektualnya?

Piramida Gerakan
               Mahasiswa merupakan tonggak perjuangan pembela massa rakyat, kerap dihadapkan pada kenyataan riil dunia politik yang penuh tipu daya. Politik rupanya masih saja menjadi tolok ukur kekuatan moral mahasiswa. Sebenarnya wajar. Sebab, dinamika politik memang mampu mempengaruhi setiap segmen kehidupan di sebuah negara.
               Namun harus disadari, layaknya sebuah piramida, posisi mahasiswa berada di tengah-tengah. Penguasa, kaum elit, dan pejabat berada di pucuk piramida. Sementara massa rakyat berposisi paling bawah dari bangunan piramida tersebut. Jikalau mahasiswa lebih suka berkecimpung pada wilayah menengah ke atas, sudah barang tentu ia akan meninggalkan rakyat. Padahal, ia justru diharapkan lebih memperhatikan posisi menengah ke bawah.
               Tapi realitas menunjukkan, mahasiswa dan kaum intelektual lebih cenderung dekat kepada kekuasaan daripada bergerak turun ke bawah; berdialog dengan masyarakat, menampilkan perilaku peka sosial, memfasilitasi aspirasi rakyat, dan seterusnya.
Sepanjang 2007 misalnya, kita jarang menjumpai gerakan masif yang berangkat dari gagasan moral mahasiswa. Memang, kita tidak bisa menyatakan gerakan mahasiswa telah mati. Tetapi beberapa persoalan dalam diri mahasiswa, menyebabkan gerakannya tidak lagi secara total bisa bersuara lantang menentang ketidakadilan. Tampaknya, gerakan mahasiswa memang ‘kehabisan’ isu wong cilik. Akibatnya, gerakan yang dilakukan justru lebih sering memberi daya dorong bagi elit dan penguasa untuk mempermainkan idealisme mahasiswa melalui cerobong politik.
                Saya pribadi menyesalkan kalau ada kekuatan mahasiswa yang melakukan pemihakan atas kepentingan politik segelintir orang borjuis. Sebab, hal ini akan memancing elemen kekuatan lain untuk ikut andil membela suprastruktur kepentingan politiknya sendiri. Padahal, substansi perjuangan gerakan mahasiswa adalah ikut serta mendorong dan mengontrol laju reformasi. Karena, mau tidak mau mereka masih dinilai sebagai agent of change, agent of social control, dll. Artinya, mahasiswa minimal harus ‘berbuat sesuatu’ dengan stereotip demikian.
                Jangan sampai aksi refleksi mereka justru terbelah menjadi dua kutub kepentingan yang saling bertolak belakang, yakni ambigu terhadap fantasi kekuasaan dan visi misi gerakan yang digagas. Sebab, kalau itu yang terjadi, stereotip label tersebut tentu sangat tidak layak lagi disematkan kepada mahasiswa. Mahasiswa tidak jauh beda dengan artis atau model yang sekadar nampang demi kepentingan dan kepuasan dirinya sendiri.

Terjebak Politik
                Kita memang terlalu banyak menemui keadaan di mana gerakan moral yang diusung mahasiswa, ujung-ujungnya gagal mencapai cita-cita karena agendanya ‘dicuri’ politisi dan diselewengkan untuk kepentingan sendiri. Gerakan mahasiswa hanya mampu berteriak moral, dan kemudian memberikan ‘cek kosong’ kepada politisi untuk mengisinya.
                Itulah mengapa manakala mahasiswa mulai melonggarkan kontrol dan sikap kritisnya atas kekuasaan negara, berbagai gerakan manipulatif atas nama rakyat mulai menjamur. Pada akhirnya, mahasiswa pun terjebak dalam permainan politik tingkat tinggi (high politics), adu domba antarkelompok, dan seterusnya.
                Philip G Altbach dalam bukunya Students Politics (1988) menganalisis, gerakan mahasiswa yang terjadi di Dunia Ketiga adalah alternatif pelaksana institusi politik yang ada. Hal ini akibat intitusi yang ada tidak berjalan menunaikan tugasnya, yakni menyejahterakan rakyat secara politik. Segebok kebijakan politis seperti penaikan harga BBM, rencana penaikan TDL, perilaku korupsi tiada henti, sampai UMK buruh yang masih belum terselesaikan secara tuntas, menunjukkan indikator kegagalan itu.

Pengontrol Demokrasi
               Agar gerakan mahasiswa tidak sekadar menjadi pengekor kekuasaan, pilihannya hanya satu: berperan selamanya menjadi kelompok pengontrol dinamisasi demokrasi. Gerakan mahasiswa yang mempunyai kesadaran semacam ini merupakan investasi demokrasi Indonesia masa depan. Nah, di sinilah hal yang sangat sulit kita temukan pada model mahasiswa sekarang. Dilematis.
               Demokrasi sendiri memang bukan untuk kepentingan penguasa, tapi untuk rakyat. Jika rakyat tidak pernah diberi ruang untuk mendialogkan kebijakan kekuasaan yang ada (seperti kebijakan penaikan harga BBM yang diperjuangkan John Dey), maka mustahil bagi kita untuk menyebutnya sebagai demokrasi.
               Karenanya, apa pun wujudnya, gerakan mahasiswa seyogianya harus senantiasa memaksimalkan dialog dengan rakyat. Jangan mengulangi sejarah. Sebab, kita tidak ingin lagi melihat orang-orang seperti Soe Hok Gie (lihat: Catatan Harian Seorang Demonstran), yang benci kepada kawan-kawannya Angkatan ’66 karena sangat mudah menjual idealismenya pada Rezim Orba.
               Sekarang, kita juga khawatir bila nantinya reformasi yang telah berjalan sembilan tahun ini juga ikut-ikutan terjual pada rezim pemerintahan sekarang, dan selanjutnya. Waspadalah mahasiswa! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar