Dalam jajak pendapat sebuah
media nasional, ada fakta yang tidak begitu menggembirakan. Diulas, gerakan
mahasiswa cenderung melempem menanggapi berbagai permasalahan riil bangsa.
Dalam salah satu pertanyaan yang diajukan, terungkap sekitar 50 persen
responden menilai peranan mahasiswa dalam menyikapi problem kebangsaan semakin
menurun.
Berdasar fakta ini, ada tendensi
gerakan intelektual kritis dewasa ini agaknya tidak lagi menempatkan sosok mahasiswa
sebagai elemen penting suatu bangsa. Padahal, saya pribadi masih sepakat bila
dikatakan mahasiswa adalah salah satu dari sekian komponen yang menjadi harapan
masyarakat di setiap lini kehidupan. Karenanya, fakta di atas seyogianya
membuat mahasiswa kembali merefleksikan diri atas apa yang telah, belum, dan
masih harus diperjuangkan.
Adakah kesadaran moral,
pascakejatuhan rezim Soeharto mahasiswa cenderung lelap dalam eforia reformasi?
Sudahkah perjuangan ‘kelas mahasiswa’ demi makna sebuah perubahan bergerak
dalam koridor nilai idealitas dan humanisme masyarakat? Jujur dan tuluskah
perjuangan mahasiswa? Kapan dan di mana seharusnya sosok mahasiswa itu bergerak
dengan kekuatan moral dan intelektualnya?
Piramida
Gerakan
Mahasiswa merupakan tonggak
perjuangan pembela massa
rakyat, kerap dihadapkan pada kenyataan riil dunia politik yang penuh tipu
daya. Politik rupanya masih saja menjadi tolok ukur kekuatan moral mahasiswa.
Sebenarnya wajar. Sebab, dinamika politik memang mampu mempengaruhi setiap
segmen kehidupan di sebuah negara.
Namun harus disadari, layaknya
sebuah piramida, posisi mahasiswa berada di tengah-tengah. Penguasa, kaum elit,
dan pejabat berada di pucuk piramida. Sementara massa rakyat berposisi paling bawah dari
bangunan piramida tersebut. Jikalau mahasiswa lebih suka berkecimpung pada
wilayah menengah ke atas, sudah barang tentu ia akan meninggalkan rakyat.
Padahal, ia justru diharapkan lebih memperhatikan posisi menengah ke bawah.
Tapi realitas menunjukkan,
mahasiswa dan kaum intelektual lebih cenderung dekat kepada kekuasaan daripada
bergerak turun ke bawah; berdialog dengan masyarakat, menampilkan perilaku peka
sosial, memfasilitasi aspirasi rakyat, dan seterusnya.
Sepanjang 2007
misalnya, kita jarang menjumpai gerakan masif yang berangkat dari gagasan moral
mahasiswa. Memang, kita tidak bisa menyatakan gerakan mahasiswa telah mati.
Tetapi beberapa persoalan dalam diri mahasiswa, menyebabkan gerakannya tidak
lagi secara total bisa bersuara lantang menentang ketidakadilan. Tampaknya,
gerakan mahasiswa memang ‘kehabisan’ isu wong cilik. Akibatnya, gerakan
yang dilakukan justru lebih sering memberi daya dorong bagi elit dan penguasa
untuk mempermainkan idealisme mahasiswa melalui cerobong politik.
Saya pribadi menyesalkan kalau
ada kekuatan mahasiswa yang melakukan pemihakan atas kepentingan politik
segelintir orang borjuis. Sebab, hal ini akan memancing elemen kekuatan lain
untuk ikut andil membela suprastruktur kepentingan politiknya sendiri. Padahal,
substansi perjuangan gerakan mahasiswa adalah ikut serta mendorong dan
mengontrol laju reformasi. Karena, mau tidak mau mereka masih dinilai sebagai agent
of change, agent of social control, dll. Artinya, mahasiswa minimal harus
‘berbuat sesuatu’ dengan stereotip demikian.
Jangan sampai aksi refleksi
mereka justru terbelah menjadi dua kutub kepentingan yang saling bertolak
belakang, yakni ambigu terhadap fantasi kekuasaan dan visi misi gerakan yang
digagas. Sebab, kalau itu yang terjadi, stereotip label tersebut tentu sangat
tidak layak lagi disematkan kepada mahasiswa. Mahasiswa tidak jauh beda dengan
artis atau model yang sekadar nampang demi kepentingan dan kepuasan dirinya
sendiri.
Terjebak
Politik
Kita memang terlalu banyak menemui
keadaan di mana gerakan moral yang diusung mahasiswa, ujung-ujungnya gagal
mencapai cita-cita karena agendanya ‘dicuri’ politisi dan diselewengkan untuk
kepentingan sendiri. Gerakan mahasiswa hanya mampu berteriak moral, dan
kemudian memberikan ‘cek kosong’ kepada politisi untuk mengisinya.
Itulah mengapa manakala
mahasiswa mulai melonggarkan kontrol dan sikap kritisnya atas kekuasaan negara,
berbagai gerakan manipulatif atas nama rakyat mulai menjamur. Pada akhirnya,
mahasiswa pun terjebak dalam permainan politik tingkat tinggi (high politics),
adu domba antarkelompok, dan seterusnya.
Philip G Altbach dalam bukunya
Students Politics (1988) menganalisis, gerakan mahasiswa yang terjadi di Dunia
Ketiga adalah alternatif pelaksana institusi politik yang ada. Hal ini akibat
intitusi yang ada tidak berjalan menunaikan tugasnya, yakni menyejahterakan
rakyat secara politik. Segebok kebijakan politis seperti penaikan harga BBM,
rencana penaikan TDL, perilaku korupsi tiada henti, sampai UMK buruh yang masih
belum terselesaikan secara tuntas, menunjukkan indikator kegagalan itu.
Pengontrol
Demokrasi
Agar gerakan mahasiswa tidak
sekadar menjadi pengekor kekuasaan, pilihannya hanya satu: berperan selamanya
menjadi kelompok pengontrol dinamisasi demokrasi. Gerakan mahasiswa yang
mempunyai kesadaran semacam ini merupakan investasi demokrasi Indonesia masa
depan. Nah, di sinilah hal yang sangat sulit kita temukan pada model mahasiswa
sekarang. Dilematis.
Demokrasi sendiri memang bukan
untuk kepentingan penguasa, tapi untuk rakyat. Jika rakyat tidak pernah diberi
ruang untuk mendialogkan kebijakan kekuasaan yang ada (seperti kebijakan
penaikan harga BBM yang diperjuangkan John Dey), maka mustahil bagi kita untuk
menyebutnya sebagai demokrasi.
Karenanya, apa pun wujudnya,
gerakan mahasiswa seyogianya harus senantiasa memaksimalkan dialog dengan
rakyat. Jangan mengulangi sejarah. Sebab, kita tidak ingin lagi melihat
orang-orang seperti Soe Hok Gie (lihat: Catatan Harian Seorang Demonstran),
yang benci kepada kawan-kawannya Angkatan ’66 karena sangat mudah menjual
idealismenya pada Rezim Orba.
Sekarang, kita juga khawatir
bila nantinya reformasi yang telah berjalan sembilan tahun ini juga ikut-ikutan
terjual pada rezim pemerintahan sekarang, dan selanjutnya. Waspadalah
mahasiswa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar